Genap dua bulan sudah saya berada
jauh dari rumah. Berawal dari menemani ibu perjalanan dinas, kini saya malah
menetap di pulau terbesar di Indonesia. Dunia yang sepenuhnya berbeda dari
kehidupan saya di rumah. Himpitan deret rumah tetangga, riuh bunyi klakson yang
saling bersaingan, panas yang bercampur dengan senyawa lainnya yang ikut
memenuhi udara, serta keluarga yang biasa terlihat walau pagi masih membuta. Sekarang?
Bahkan bahasa pun menjadi pengingat utama saya; bahasa yang masih terdengar
asing di telinga, apalagi untuk dimengerti makna terusannya. Bahwa, ini bukan
lagi lingkungan tempat saya dibesarkan.
Suatu hari, aku akan bersamamu
Mungkin kini, kita bagai mercusuar dan kapal besar,
saling melintasi,
saling melihat,
saling menyapa, yang hanya sekedarnya itu
saling melintasi,
saling melihat,
saling menyapa, yang hanya sekedarnya itu
Kita, bisa saja, hanya bocah ingusan yang belum tahu apa-apa; akan
masa depan, akan kemauan, akan pilihan, bahkan terhadap arti kehidupan baru.
Kita pernah bertemu. Walau tak
lama dalam bilangan waktu.
Sejak tangan itu hanya sebesar ibu jari ini. Sejak kita
saling bercengkrama dengan bahasa yang berbeda, dengan bahasa alienmu, dan aku
dengan bahasaku sendiri.
“Jika di negara-negara subtropis
sana memiliki empat musim yang berbeda setiap tahunnya, Indonesia justru
memiliki tiga musim; musim kemarau, musim hujan, dan musim mudik.”
...
Deburan ombak bersuara kian
jelas. Burung camar terbang seakan langit adalah kerajaannya. Warna biru dan
coklat berbaur padu mewarnai lanskap taman Yamashita. Rerumputan yang masih
tertidur terhampar luas di tengah-tengah taman. Pepohonan tanpa dedaunan
menambah aksen yang menentramkan pula menenangkan. Deretan bangku sukarela
berdiam diri agar dapat disinggahi untuk melepas lelah bagi siapapun mereka.
Lautan dan langit seakan menyatu pada garis cakrawala yang terlihat jelas tanpa
alang-alang. Performer menambah
suasana romantis dalam alunan dawai akustik dan vokalnya yang saling
melengkapi. Bercampur pula riuh rendah suara celoteh para pengunjung dengan
ketukan kaki anak-anak kecil yang berlari di atas rumput.
...
Kakinya dibiarkan menggantung.
Bergerak mengayun maju mundur. Ia duduk di bangku tinggi di meja counter menghadap jendela berpemandangan
lalu lalang orang-orang berlatar taman dengan rumput yang masih berwarna
coklat. Tunas hijaunya masih menunggu waktu yang tepat untuk bermekaran. Sejenak
beristirahat dan menghangatkan tubuhnya di dalam konbini. Kedua tangannya memeluk gelas kertas. Uap panas menari
keluar dari bibir gelas. Wino mendekatkan gelasnya hingga berjarak beberapa
mili dari bibir. Meniupnya pelan. Sekedar mendinginkan permukaan minuman agar
lebih ramah saat masuk ke dalam mulutnya. Lalu meminumnya seruput demi seruput.
...
Kepalanya mulai terasa berat, tanpa
disadari. Langkah kakinya pun mulai terasa tak nyaman. Wino melirik penunjuk
waktu yang melingkar di tangan kanannya. “Pantas saja, udah waktunya gue makan
siang.” Ia menggerutu. Mengingatkan dirinya sendiri bahwa sudah lewat dua jam
dari waktu makannya.
...
Wangi laut merapat di udara.
Tercium tipis bau garam yang terikutserta. Aroma khas yang biasa terkuar oleh
kota pelabuhan. Desiran angin yang bersiul bersama deritan gerbong kereta,
mulai terdengar sayup. Tulisan stasiun Sakuragicho bernaung di atas kepala Wino
saat melangkah keluar. Ia menghirup nafas dalam beberapa kali sebelum memulai
langkahnya kembali. Berjalan dengan senyum yang terkembang selama
perjalanannya. Suasana ini yang membuat Wino terkesima. Suasana tenang yang
mengalir dalam kehidupan sosial masyarakat di dalamnya. Suasana yang sepertinya
sulit untuk ditemui jika berjalan di jalanan Ibukota Jakarta.
...
“Aaah... cerahnya,” ujarnya pelan. Matanya
menatap langit yang cerah tanpa cela. Ia merentangkan tangannya tinggi-tinggi
seraya menghirup dalam partikel oksigen pagi ini sebanyak-banyaknya. Kemudian
menyumpal kedua lubang telinganya dengan earphone,
dan mengarahkan telunjuknya pada tombol play
di layar ponsel. Alunan musik mulai terdengar. Suara nyanyian Chrisye seraya
mengawali langkah awal perjalanan hari ini.
...
Suhu udara kian menurun seiring pias
matahari yang juga cepat menghilang. Jejaknya menciptakan guratan gradasi
jingga dan ungu pekat. Hawa dingin semakin cepat mengusik. Tiga lapis pakaian
yang erat membungkus tubuh Wino cukup membuatnya hangat. Walau ada saja tingkah
nakal angin malam. Mencubit tubuhnya saat ada celah yang membuatnya dapat
menyelinap ke dalam.
...
Wino berdiri dari kursi tempat ia
duduk sejak pukul 8 tadi pagi. Menggerak-gerakan seluruh tubuhnya. Berharap
aliran darah di dalam tubuhnya kembali lancar mengalir agar dapat membawa raga
ini kembali pulang. Ternyata bukan kopi yang membuat rasa kantuknya lenyap,
berakhirnya kegiatanlah penyemangatnya. Ia kembali duduk dan menekan tombol shutdown di layar laptopnya.
...
Belasan pasang mata tertuju pada
seorang pria yang sedang berbicara di depan ruangan. Suara halus yang tetap
terdengar maskulin mengisi langit-langit. Tampak sedikit garis lelah pada lekuk
di bawah kantung matanya. Lelaki yang sedang memasuki fase forty-something dengan wajah tegas yang dihiasi dengan kumis tebal
ini terlihat menyeramkan. Tetapi di balik kumis tebalnya, pria bertubuh,
cenderung, kurus ini sangat ramah dan helpful
terhadap siapapun. Apalagi jika ada yang bertanya tentang kereta, maka dia akan
sanggup menjelaskan seluruh jenis kereta di negaranya ini selama berjam-jam. Kali
ini ia menyampaikan rangkaian kegiatan yang akan diselenggarakan untuk sisa
beberapa hari ke depan.
[prolog]
Warna biru tanpa cela terhampar
sempurna di langit awal bulan ketiga ini. Sinar mentari memancar sekuat tenaga.
Berambisi agar kehangatannya tak kalah dengan angin peralihan musim dingin dan
semi, yang masih menyisakan kristal es di setiap sapa alirannya. Setiap dahan
dan ranting di pepohonan menyibukkan diri dengan urusannya masing-masing. Menyempurnakan
persiapan setahun yang lalu demi festival tahun ini, di negara tempat mereka
tumbuh dan berkembang. Mereka sengaja mengorbankan ribuan helai dedaunan yang
menjadi mahkota tajuknya. Alasannya hanya satu. Menyemarakan euforia pada
tunas-tunas bunga kertas yang selalu menjadi anak emas. Menciptakannya menjadi
sesuatu yang sempurna karena umur-umur yang genjah.
ABOUT AUTHOR
Follow us
POPULAR POSTS
-
Jaws, Amity Village Selanjutnya kami menuju kawasan tetangga sebelah, Amity Village. Area ini dibangun dengan setting film thrille...
-
Permintaan untuk melakukan perjalanan dari dua orang teman berkebangsaan Jepang membuat saya datang kembali di kota Gudeg pada bulan Mei ...
-
Universal Studio Japan, Osaka Tujuan perjalanan hari ini adalah tujuan utama selama saya berlibur di negara Nippon ini. Selepas menyi...
-
“Jika di negara-negara subtropis sana memiliki empat musim yang berbeda setiap tahunnya, Indonesia justru memiliki tiga musim; musim ke...
-
Saya duduk di sebuah warung kayu di pinggir jalan. Pemandangan di sekitarnya begitu memukau, walaupun bentuk warung ini tak seberapa. Ar...
Advertisement
Blog Archive
Powered by Blogger.